Senin, 24 November 2014

Informed Consent



BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar belakang
Pelayanan medis modern memberikan kesempatan melalui informed consent sebagai prinsip-prinsip dasar yang benar kepada pasien untuk menerima atau menolak bermacam tindakan medis tertentu. Para profesional dalam pelayanan kesehatan meningkatkan perhatian tentang pentingnya informasi yang cukup sebagai isi pernyataan Informed Consentdari pasien yang meliputi prioritas prosedur treatment atau clinical trial. Dengan sederhanaInformed Cconsent disifikasi lebih rinci atau dikhususkan sebagai aturan pelaksanaan pelayanan kesehatan. Dalam hukum Belanda Informed Consent dicontohkan dengan bentukdraft sebagai prosedur perlakuan medis yang benar atau (Medical Resert With Human Beings Bill). Tujuannya adalah untuk regulasi/memberikan kesempatan peran aktif pasien dalam pengambilan keputusan medis.
Pendekatan dalam pelaksanaan Informed Consent yang legal dan benar itu sendiri tidak hanya berisi keputusan medis. Legalitasnya sangat dibutuhkan, hal ini bukan hanya dianggap sebagai kewajiban melainkan sebagai dasar dalam komunikasi antara dokter-pasien. Jika dilaksanakan ketika pasien tidak tahu atau memahami, maka mereka dianggap sudah paham padahal tidak. Secara empiris penelitian menghasilkan kesimpulan dari berbagai kasus, pasien cenderung merasa harus melakukan apa saja yang disampaikan oleh dokter, menjadi kurang agresif untuk mencari alternatif dan menjadi lemah tidak mempunyai kekuatan dari berbagai macam informasi yang disampaikan. Komunikasi yang efektif bukan berarti informasi yanag terlalu banyak, penelitian menunjukkan bahwa informasi yang berlebihan dari pernyataan-pernyataan memungkinkan diterlupakan oleh si sakit, menjadi cemas dan kadang-kadang bertentangan oleh pasien. Hal ini merupakan konsekuensi kognitif dan fisik serta kemampuan pengambilan keputusan rusak oleh sebab keadaan stress.
Hasil penelitian terhadap realita Informed Consent mendapat beberapa kesimpulan, sebuah penelitian yang difokuskan pada interaksi antara pasien dan tindakan medis dalam kejadian sehari-hari tentang Informed Consent. Penelitian menunjukkan bahwa pengambilan keputusan dalam pelayanan kesehatan tidak cukup hanya konseptual jika dilihat sebagai proses pertukaran informasi sebagai acuan keputusan pasien. Informasi dinyatakan dalam banyak faktor yang berkaitan dengan pengambilan keputusan pasien untuk mengikuti tindakan medis. Banyak aspek perlakuan klinis yang relevan dinyatakan dalam Informed Consent, hal ini tidak sama dengan mempengaruhi pasien untuk mengikuti atau menyetujui perlakuan klinis. Legalitas dibutuhkan dalam Informed Consent sebagai bagian dari prosedur pelaksanaan tindakan medis. Faktor utama yang sangat berpengaruh dalamInformed Consent adalah kerelaan dan berpartisipasi. Umumnya tindakan yang berkaitan dengan Informed Consent mengarah pada pelayanan kesehatan, penelitian dan institusi yang cenderung tidak hanya berdampak pada pasien jika mengikuti treatment. Prioritas utamanya adalah memberikan kontribusi penting pada pasien untuk membentuk persepsi tentang informasi yang diberikan serta mengevaluasi proses pengambilan keputusan.
Penelitian menunjukkan bahwa keikutsertaan pasien dalam tindakan medis tidak hanya sebagai hasil dari penerimaan informasi tentang manfaat dan resiko, serta membandingkan kondisi dan keputusan yang rasional. Hal ini kadang cukup sulit untuk membangun interaksi antara pasien dan dokter. Bentuk-bentuk panduan keputusan/decision idealnya dibuat dengan informasi yang konkrit dan obyektif. Dari standar Informed Consent yang ditampilkan ternyata mendapat reaksi yang bermacam-macam. Dalam bentuk pertamaInformed Consent berkemungkinan tidak tercapai. Bentuk kedua informed consent, memberikan solusi dengan penyajian informasi yang lebih baik serta menjamin bahwa pasien membuat keputusannya dengan sengaja dan indefendent. Bagaimanapun kesulitan yang mana memberikan kesempatan kepada pasien untuk berperan aktif menambah informasi dan opsi-opsi yang seimbang. Banyak program yang biasanya digunakan, dari program tersebut mendorong pasien mempertimbangkan dalam membuat keputusan dengan menyimak faktor-faktor kunci yang disajikan yang dapat diaksesdengan mudah oleh pasien.
2.      Tujuan penulisan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui gambaran umum tentangInformed Consent dan kaitannya dengan tindakan yang dilakukan.
3.      Metode penulisan
Metode yang kami gunakan dalam penulisan makalah ini diantaranya melalui media literatur perpustakaan dan elektronik.
4.      Sistematika penulisan
Makalah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I   : Pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan   dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan teoritis yang terdiri dari pengertian, elemen-elemen Informed Consent, hal-hal yang diinformasikan, aspek hokum Informed Consent, kendala yang ditimbulkan dan contoh Informed Consent
BAB III :  Penutup yang terdiri dari kesimpulan

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.    Pengertian
Dalam sejarahnya, Informed Consent berakar pada banyak disiplin ilmu pengetahuan, termasuk dalam ilmu kesehatan/kedokteran, ilmu hukum, ilmu perilaku sosial, dan ilmu filsafat moral/etika. Belakangan ini, bidang ilmu yang sangat berpengaruh dalam hal informed consent adalah ilmu hukum dan ilmu filsafat moral atau filsafat etika. Kedua disiplin ilmu ini, keduanya dengan metoda dan objektifnya tersendiri, mempunyai fungsi sosial dan intelektual yang berbeda.
Walaupun pendekatan kedua bidang ilmu ini terhadap Informed Consent rumit dan kontroversial, intisari dari pendekatan secara hukum, dan pendekatan secara etika mudah dimengerti. Hukum memfokuskan diri terutama pada konteks klinis, tidak pada riset. Dalam kacamata hukum, dokter mempunyai kewajiban untuk pertama memberi informasi kepada pasiennya dan kedua untuk mendapatkan izinnya. Apabila seorang pasien cedera akibat dokter lalai dengan tidak memberikan informasi yang lengkap mengenai suatu pengobatan atau tindakan, maka pasien dapat menerima kompensasi finansial dari si dokter karena telah menyebabkan cedera tersebut. Visi legal ini lebih berfokus pada kompensasi finansial daripada pada pemberian informasi dan izin yang diberikan pasien secara umum.
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consentadalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Informed consent adalah suatu proses komunikasi antara pasien dan dokter yang menghasilkan pemberian izin oleh pasien untuk menjalankan suatu intervensi medik tertentu.Informed Consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti pemriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan, menolong bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak lanjut jika terjadi kesulitan, dan sebagainya. Selanjutnya kata informed terkait dengan informasi atau penjelasan.
Informed Consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan itu bisa dalam bentuk lisan maupun tertulis. Pada hakikatnya Informed Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah cukup.
Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya. Formulir ini juga merupakan suatu tanda bukti yang akan disimpan di dalam arsip rekam medis pasien yang bisa dijadikan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi kontrak terapeutik antara dokter dan pasien. Pembuktian tentang adanya perjanjian terapeutik dapat dilakukan pasien dengan mengajukan arsip rekam medis atau dengan persetujuan tindakan medis (Informed Consent) yang diberikan oleh pasien. Bahkan dalam kontrak terapeutik adanya kartu berobat atau dengan kedatangan pasien menemui dokter untuk meminta pertolongannya, dapat dianggap telah terjadi perjanjian terapeutik.
Dapat disimpulkan bahwa Informed Consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien (atau keluarga yang berhak) kepada dokter untuk melakukan tindakan medis atas dirinya, setelah kepadanya oleh dokter yang bersangkutan diberikan informasi atau penjelasan yang lengkap tentang tindakan itu. Mendapat penjelasan lengkap itu adalah salah satu hak pasien yang diakui oleh UU sehingga dengan kata lain Informed Consent adalah persetujuan setelah penjelasan.
Tujuan Informed Consent:
a.    Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
b.   Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko (Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3)
B.     Elemen-elemen Informed Consent
Setelah hubungan dokter pasien terbentuk, dokter memiliki kewajiban untuk memberitahukan pasien mengenai kondisinya; diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, terapi, risiko, alternatif, prognosis dan harapan. Dokter seharusnya tidak mengurangi materi informasi atau memaksa pasien untuk segera memberi keputusan. Informasi yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
Suatu Informed Consent harus meliputi :
1.   Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan penyakitnya
2.   Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa besar kemungkinan keberhasilannya
3.   Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat apabila penyakit tidak diobati.
4.   Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak terapi
Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin terjadi dalam penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang dilakukan. Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien. Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah  dilakukan inkonklusif.
Dalam proses komunikasi ini, dokter sebagai orang yang memberi terapi atau melakukan tindakan mediklah yang harus menjelaskan dan mendiskusikan bersama pasien hal-hal di bawah ini. Proses komunikasi ini tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal-hal yang harus dibicarakan:
1.   Diagnosis pada pasien, kalau sudah diketahui.
2.   Sifat dan manfaat dari pengobatan atau tindakan yang direncanakan.
3.   Risiko dan manfaat dari pengobatan atau tindakan yang direncanakan.
4.   Pilihan pengobatan atau tindakan yang lain yang tersedia (tanpa melihat biayanya maupun apakah termasuk di dalam pembiayaan yang dicakup oleh asuransi).
5.   Risiko dan manfaat dari pilihan pengobatan atau tindakan lain yang tersedia.
6.    Risiko dan manfaat yang dihadapi apabila suatu pengobatan atau tindakan tidak dilakukan.
Sebaliknya, pasien atau klien harus mempunyai kesempatan untuk bertanya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai suatu pengobatan atau tindakan. Dengan demikian dia akan dapat membuat keputusan yang berdasarkan pemahaman yang baik mengenai suatu intervensi medik. Keputusan yang dia ambil bisa berupa persetujuan maupun penolakan akan intervensi tersebut. Informed Consentbaru dianggap sah kalau diberikan oleh seorang pasien/klien yang kompeten dan diberikan secara sukarela.
Semua informasi diatas sudah harus diterima pasien sebelum rencana tindakan medis dilaksanakan. Pemberian informasi ini selayaknya bersifat obyektif, tidak memihak, dan tanpa tekanan. Setelah menerima semua informasi tersebut, pasien seharusnya diberi waktu untuk berfikir dan mempertimbangkan keputusannya.
Kriteria pasien yang berhak :
Tidak semua pasien boleh memberikan pernyataan, baik setuju maupun tidak setuju. Syarat seorang pasien yang boleh memberikan pernyataan, yaitu :
1.   Pasien tersebut sudah dewasa
Masih terdapat perbedaan pendapat pakar tentang batas usia dewasa, namun secara umum bisa digunakan batas 21 tahun. Pasien yang masih dibawah batas umur ini tapi sudah menikah termasuk kriteria pasien sudah dewasa.
2.   Pasien dalam keadaan sadar.
Hal ini mengandung pengertian bahwa pasien tidak sedang pingsan, koma, atau terganggu kesadarannya karena pengaruh obat, tekanan kejiwaan, atau hal lain. Berarti, pasien harus bisa diajak berkomunikasi secara wajar dan lancar.
3.   Pasien dalam keadaan sehat akal
Jadi yang paling berhak untuk menentukan dan memberikan pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medis adalah pasien itu sendiri, apabila dia memenuhi 3 kriteria diatas, bukan orang tuanya, anaknya, suami/istrinya, atau orang lainnya. Namun apabila pasien tersebut tidak memenuhi 3 kriteria tersebut diatas maka dia tidak berhak untuk menentukan dan menyatakan persetujuannya terhadap rencana tindakan medis yang akan dilakukan kepada dirinya. Dalam hal seperti ini, maka hak pasien akan diwakili oleh wali keluarga atau wali hukumnya. Misalnya pasien masih anak-anak, maka yang berhak memberikan persetujuan adalah orang tuanya, atau paman/bibinya, atau urutan wali lainnya yang sah. Bila pasien sudah menikah, tapi dalam keadaan tidak sadar atau kehilangan akal sehat, maka suami/istrinya merupakan yang paling berhak untuk menyatakan persetujuan bila memang dia setuju.
4.   Hak suami/istri pasien
Untuk beberapa jenis tindakan medis yang berkaitan dengan kehidupan berpasangan sebagai suami-istri, maka pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medisnya harus melibatkan persetujuan suami/istri pasien tersebut apabila suami/istrinya ada atau bisa dihubungi untuk keperluan ini. Dalam hal ini, tentu saja suami/istrinya tersebut harus juga memenuhi kriteria “dalam keadaan sadar dan sehat akal”. Beberapa jenis tindakan medis tersebut misalnya tindakan terhadap organ reproduksi, KB, dan tindakan medis yang bisa berpengaruh terhadap kemampuan seksual atau reproduksi dari pasien tersebut.
5.   Dalam keadaan gawat darurat
Proses pemberian informasi dan permintaan persetujuan rencana tindakan medis ini bisa saja tidak dilaksanakan oleh dokter apabila situasi pasien tersebut dalam kondisi gawat darurat. Dalam kondisi ini, dokter akan mendahulukan tindakan untuk penyelamatan nyawa pasien. Prosedur penyelamatan nyawa ini tetap harus dilakukan sesuai dengan standar pelayanan / prosedur medis yang berlaku disertai profesionalisme yang dijunjung tinggi.
Setelah masa kritis terlewati dan pasien sudah bisa berkomunikasi, maka pasien berhak untuk mendapat informasi lengkap tentang tindakan medis yang sudah dialaminya tersebut.
6.   Tidak berarti kebal hukum
Pelaksanaan informed consent ini semata-mata menyatakan bahwa pasien (dan/atau walinya yang sah) telah menyetujui rencana tindakan medis yang akan dilakukan. Pelaksanaan tindakan medis itu sendiri tetap harus sesuai dengan standar proferi kedokteran. Setiap kelalaian, kecelakaan, atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan tindakan medis itu tetap bisa menyebabkan pasien merasa tidak puas dan berpotensi untuk mengajukan tuntutan hukum.
Informed consent memang menyatakan bahwa pasien sudah paham dan siap menerima resiko sesuai dengan yang telah diinformasikan sebelumnya. Namun tidak berarti bahwa pasien bersedia menerimaapapun resiko dan kerugian yang akan timbul, apalagi menyatakan bahwa pasien tidak akan menuntut apapun kerugian yang timbul. Informed consent tidak menjadikan dokter kebal terhadap hukum atas kejadian yang disebabkan karena kelalaiannya dalam melaksanakan tindakan medis.
Tindakan invasif :
a.       Wali
Orang yang menurut hukum menggantikan orang lain yang belum dewasa untuk mewakili dalam melakukan perbuatan hukum, atau orang yang menurut hukum menggantikan kedudukan orang tua.
b.      Induk semang
Orang yang berkewajiban untuk mengawasi serta ikut bertanggung jawab terhadap pribadi orang lain, misalnya : Pimpinan asrama dari anak perantau, kepala RT dari seorang pembantu RT yang belum dewasa.
C.     Hal-hal yang diinformasikan
1.   Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.
2.   Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.
3.    Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.
4.   Rujukan/ konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.
5.    Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari Informed Consent
D.    Aspek hukum Informed Consent
Pada dasarnya dalam praktik sehari hari, pasien yang datang untuk berobat ke tempat praktik dianggap telah memberikan persetujuannya untuk dilakukan tindakan tindakan rutin seperti pemeriksaan fisik. Akan tetapi, untuk tindakan yang lebih kompleks biasanya dokter akan memberikan penjelasan terlebih dahulu untuk mendapatkan kesediaan dari pasien, misalnya kesediaan untuk dilakukan suntikan.Ikhwal diperlukannya izin pasien, adalah karena tindakan medik hasilnya penuh ketidakpastian, tidak dapat diperhitungkan secara matematik, karena dipengaruhi faktor faktor lain diluar kekuasaan dokter, seperti virulensi penyakit, daya tahan tubuh pasien, stadium penyakit, respon individual, faktor genetik, kualitas obat, kepatuhan pasien dalam mengikuti prosedur dan nasihat dokter, dll.
Selain itu tindakan medik mengandung risiko, atau bahkan tindakan medik tertentu selalu diikuti oleh akibat yang tidak menyenangkan. Risiko baik maupun buruk yang menanggung adalah pasien. Atas dasar itulah maka persetujuan pasien bagi setiap tindakan medik mutlak diperlukan, kecuali pasien dalam kondisi emergensi. Mengingat pasien biasanya datang dalam keadaan yang tidak sehat, diharapkan dokter tidak memberikan informasi yang dapat mempengaruhi keputusan pasien, karena dalam keadaan tersebut, pikiran pasien mudah terpengaruh. Selain itu dokter juga harus dapat menyesuaikan diri dengan tingkat pendidikan pasien, agar pasien bisa mengerti dan memahami isi pembicaraan. Persetujuan tersebut disebut dengan Informed Consent.
Informed Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:
1.      Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
2.      Para pihak cakap untuk membuat perikatan.
3.      Adanya suatu sebab yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
Dari syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak (antara petugas kesehatan dan pasien), maka berarti harus ada informasi keluhan pasien yang cukup dari kedua belah pihak tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat informasi keluhan pasien sejujurnya, demikian pula dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.
Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan Informed Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya adalah:
1.   Tidak bersifat memperdaya (Fraud).
2.   Tidak berupaya menekan (Force).
3.   Tidak menciptakan ketakutan (Fear).
UU NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
Perlindungan Pasien
Pasal 56
1.   Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
2.   Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a.    Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;
b.   keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c.    gangguan mental berat.
3.   Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 290/MENKES/PER/III/2008 TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERANMENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: :
bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, perlu mengatur kembali Persetujuan Tindakan Medik dengan Peraturan Menteri Kesehatan;
Mengingat :
1.   Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negar Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495);
2.   Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431).
3.   Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2803).
4.   Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 39 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3637).
5.   Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/Menkes/Per/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Nomor 191/Menkes-Kesos/SK/II/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 157/Menkes/SK/III/1999 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit.
6.   Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1295/Menkes/Per/XII/2007 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1.   Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2.   Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
3.   Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
4.   Tindakan invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.
5.   Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.
6.   Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7.   Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.
BAB II
PERSETUJUAN DAN PENJELASAN
Bagian Kesatu
Persetujuan
Pasal 2
1.   Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2.   Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.
3.   Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
Pasal 3
Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
1.   Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
2.   Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
3.   Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
4.   Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Pasal 4
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
1.   Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik.
2.   Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat
Pasal 5
Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan sebelum dimulainya tindakan.
1.   Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan.
2.   Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan.
Pasal 6
Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien
Bagian Kedua
Penjelasan
Pasal 7
1.    Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.
2.   Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.
3.   Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sekurang-kurangnya mencakup:
a.    Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran.
b.   Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan.
c.    Altematif tindakan lain, dan risikonya.
d.   Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e.    Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
f.    Perkiraan pembiayaan.
Pasal 8
1.   Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi:
a.    Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut.
b.   Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka  sekurang-kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding.
c.    Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran.
d.   Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
2.   Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :
a.    Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitatif.
b.   Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
c.    Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan.
d.   Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan.
e.    Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.
3.   Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali:
a.    risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
b.   risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan.
c.    risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya (unforeseeable).
4.   Penjelasan tentang prognosis meliputi:
a.    Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam).
b.   Prognosis tentang fungsinya (ad functionam).
c.    Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)
Pasal 9
1.   Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman.
2.   Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima penjelasan.
3.   Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi.
Pasal 10
1.   Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang merawatnya.
2.   Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk memberikan penjelasan secara langsung, maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter atau dokter gigi lain yang kompeten.
3.   Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan kewenangannya.
4.   Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien
Pasal 11
1.   Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan.
2.   Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar daripada persetujuan
Pasal 12
1.   Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
2.   Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan, dokter atau dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga terdekat.
BAB III
YANG BERHAK MEMBERIKAN PERSETUJUAN
Pasal 13
1.   Persetujuan diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat.
2.   Penilaian terhadap kompetensi pasien sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh dokter pada saat diperlukan persetujuan
BAB IV
KETENTUAN PADA SITUASI KHUSUS
Pasal 14 :
1.   Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding life support) pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien.
2.   Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan.
3.   Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan secara tertulis.
Pasal 15
Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan kedokteran tidak diperlukan.
BAB V
PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN
Pasal 16
1.   Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan.
2.   Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud kedokteran pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis.
3.   Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab pasien.
4.   Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien.
BAB VI
TANGGUNG JAWAB
Pasal 17
1.   Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi tanggung jawab dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran.
2.   Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 18
1.   Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan dengan melibatkan organisasi profesi terkait sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
2.   Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
Pasal 19
1.   Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil tindakan administratif sesuai dengan kewenangannya masing-masing
2.   Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 21
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang rnengetahuinya, rnemerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penernpatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pernyataan IDI tentang informed consent
1.      Manusia dewasa dan sehat rohaniah berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya.
2.      Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Oleh karena itu, semua tindakan medis (diagnostik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan Informed Consent secara lisan maupun tertulis.
3.      Setiap tindakan medis yang mengandung risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnya pasien itu memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko yang berkaitan dengannya (Informed Consent).
4.      Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5.      Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta oleh pasien maupun tidak. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi itu kepada keluarga terdekat. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien, kehadiran seorang perawat/paramedik lain sebagai saksi adalah penting.
6.      Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informasi "Informed Consent").Informasi harus diberikan secara jujur dan benar, terkecuali bila dokter menilai bahwa hal ini dapat merugikan kepentingan pasien.
Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi yang benar itu kepada keluarga terdekat pasien.
7.      Dalam hal tindakan bedah (operasi) dan tindakan invasif lainnya, informasi harus diberikan oleh dokter yang bersangkutan sendiri.
Untuk tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan invasif, informasi dapat diberikan oleh perawat atau dokter lain, sepengetahuan atau dengan petunjuk dokter yang merawat.
8.      Perluasan operasi yang dapat diduga sebelum tindakan dilakukan, tidak boleh dilakukan tanpa informasi sebelumnya kepada keluarga yang terdekat atau yang menunggu. Perluasan yang tidak dapat diduga sebelum tindakan dilakukan, boleh dilaksanakan tanpa informasi sebelumnya bila perluasan operasi tersebut perlu untuk menyelamatkan nyawa pasien pada waktu itu.
9.      Informed Consent diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sehat rohaniah.
10.  Untuk orang dewasa yang berada dibawah pengampuan, Informed Consent diberikan oleh orangtua/kurator/wali. Untuk yang dibawah umur dan tidak mempunyai orangtua/wali. Informed Consent diberikan oleh keluarga terdekat/induk semang ( guardian ).
11.  Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan, serta tidak didampingi oleh yang tersebut dalam butir 10, dan yang dinyatakan secara medis berada dalam keadaan gawat dan/atau darurat, yang memerlukan tindakan medis segera untuk kepentingan pasien, tidak diperlukan Informed Consent dari siapapun dan ini menjadi tanggung jawab dokter.
12.  Dalam pemberian persetujuan berdasarkan informasi untuk tindakan medis di RS/Klinik, maka RS/Klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab.
E.     Kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan Informed Consent untuk menghindari tuntutan malpraktek
Beberapa kendala timbul dalam pelaksanaan Informed Consent yang dilakukan untuk menghindari tuntutan malpraktek. Kendala-kendala tersebut berasal dari tenaga medis, tenaga kesehatan, rumah sakit, pasien dan keluarga pasien.
1.   Tenaga Medis
a.    Tenaga medis (dokter) sibuk praktek dibeberapa tempat/RS dan selain itu dokter memiliki pasien yang banyak.
b.   Kebiasaan dokter untuk mendelegasikan tugasnya kepada Tenaga Kesehatan, padahal tidak semua Tenaga Kesehatan kompeten dalam bidang tersebut.
c.    Dokter boleh mendelegasikan bila kondisi life saving (emergency), setelah dokter datang harus menandatanganinya.
2.   Tenaga Kesehatan (Perawat/Bidan)
a.    Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan delegasi meminta Informed Concent ke pasien/keluarga tanpa ada beban karena merasa hal tersebut sudah tugas rutin.
b.   Beberapa tenaga kesehatan belum sepenuhnya memahami dampak yang timbul bila ada kesalahan.
3.   Pasien dan keluarga
Dari pasien dan keluarga informed concent merupakan hal yang biasa layaknya menulis identas yang perlu ditanda tangani seperti saat masuk RS, dan tidak tahu dampak bila terjadi masalah.

4.   Rumah sakit
Rumah sakit belum tegas dalam pelaksanaan SOP informed concent terhadap dokter dan Tenaga Kesehatan, perlu diberi sangsi bila terjadi pelanggaran. Dengan adanya SOP informed consent yang jelas maka jelas pula perlindungan bagi dokter dan tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya, setidak-tidaknya perlindungan terhadap kejadian yang tak terduga.
6.      Upaya mengatasi kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan Informed Consent.
Melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medik merupakan salah satu keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya tuntutan malpraktek pidana karena kecerobohan. Oleh karena itu masalah persetujuan tindakan medik perlu untuk menghindari kesalahpahaman antara kedua belah pihak dokter maupun pasien.
Sehubungan dengan cara pernyataan kehendak menurut hukum, Mertokusumo (1987) menyebutkan bahwa informed consent dari pasien dapat dilakukan dengan cara antara lain :
1.   Dengan bahasa yang sempurna dan tertulis,
2.   Dengan bahasa yang sempurna secara lisan
3.   Dengan bahasa tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan,
4.    Dengan bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan,
5.    Dengan diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah bahwa Informed Consent merupakan syarat yang tidak boleh diabaikan. Yang lebih penting lagi adalah menentukan substansi minimal Informed Consenttersebut sehingga ada pegangan bagi tenaga kesehatan yang akan melaksanakannya. Selain itu melakukanInformed Consent sebagaimana mestinya tanpa mengabaikannya.
Upaya untuk mengatasi kendala dalam pelaksanaan Informed Consent (yang seyogyanya hal tersebut dapat digunakan untuk menghindari tuntutan malpraktek) yang timbul oleh pihak rumah sakit, yaitu dengan cara pihak rumah sakit segera membuat SOP informed consent yang jelas dan terarah sehingga dapat dipahami oleh pasien dan dokter maupun tenaga kesehatan.




F.      Contoh Informed Consent
SURAT PERSETUJUAN/PENOLAKAN MEDIS KHUSUS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama                            :                       (L/P)
Umur/Tgl Lahir           :
Alamat                         :
Telp                             :
Menyatakan dengan sesungguhnya dari saya sendiri/*sebagai orang tua/*suami/*istri/*anak/*wali dari :
Nama                            :                        (L/P)
Umur/Tgl Lahir           :
Dengan ini menyatakan SETUJU/MENOLAK untuk dilakukan Tindakan Medis berupa…………………………………………………………………………….
Dari penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal yang berhubungan dengan penyakit tersebut, serta tindakan medis yang akan dilakukan dan kemungkinana pasca tindakan yang dapat terjadi sesuai penjelasan yang diberikan.

                                                                                            Bandung,……………20……
Dokter/Pelaksana,                                                        Yang membuat pernyataan,
                      
Ttd                                                                                              ttd
(……………………)                                                  (…………………………..)
*Coret yang tidak  perlu

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Informed consent adalah suatu proses komunikasi antara pasien dan dokter yang menghasilkan pemberian izin oleh pasien untuk menjalankan suatu intervensi medik tertentu. Informed Consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti pemriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan, menolong bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak lanjut jika terjadi kesulitan, dan sebagainya. Selanjutnya kata informed terkait dengan informasi atau penjelasan.
Informed Consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan itu bisa dalam bentuk lisan maupun tertulis. Pada hakikatnya Informed Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah cukup.


Tidak ada komentar: