BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Pelayanan medis modern memberikan
kesempatan melalui informed consent sebagai prinsip-prinsip dasar yang benar
kepada pasien untuk menerima atau menolak bermacam tindakan medis tertentu.
Para profesional dalam pelayanan kesehatan meningkatkan perhatian tentang
pentingnya informasi yang cukup sebagai isi pernyataan Informed Consentdari
pasien yang meliputi prioritas prosedur treatment atau clinical trial. Dengan
sederhanaInformed Cconsent disifikasi lebih rinci atau dikhususkan
sebagai aturan pelaksanaan pelayanan kesehatan. Dalam hukum Belanda Informed
Consent dicontohkan dengan bentukdraft sebagai prosedur
perlakuan medis yang benar atau (Medical Resert With Human Beings Bill).
Tujuannya adalah untuk regulasi/memberikan kesempatan peran aktif pasien dalam
pengambilan keputusan medis.
Pendekatan dalam pelaksanaan Informed
Consent yang legal dan benar itu sendiri tidak hanya berisi keputusan
medis. Legalitasnya sangat dibutuhkan, hal ini bukan hanya dianggap sebagai
kewajiban melainkan sebagai dasar dalam komunikasi antara dokter-pasien. Jika
dilaksanakan ketika pasien tidak tahu atau memahami, maka mereka dianggap sudah
paham padahal tidak. Secara empiris penelitian menghasilkan kesimpulan dari
berbagai kasus, pasien cenderung merasa harus melakukan apa saja yang
disampaikan oleh dokter, menjadi kurang agresif untuk mencari alternatif dan
menjadi lemah tidak mempunyai kekuatan dari berbagai macam informasi yang
disampaikan. Komunikasi yang efektif bukan berarti informasi yanag terlalu
banyak, penelitian menunjukkan bahwa informasi yang berlebihan dari
pernyataan-pernyataan memungkinkan diterlupakan oleh si sakit, menjadi cemas
dan kadang-kadang bertentangan oleh pasien. Hal ini merupakan konsekuensi
kognitif dan fisik serta kemampuan pengambilan keputusan rusak oleh sebab
keadaan stress.
Hasil penelitian terhadap realita Informed
Consent mendapat beberapa kesimpulan, sebuah penelitian yang
difokuskan pada interaksi antara pasien dan tindakan medis dalam kejadian
sehari-hari tentang Informed Consent. Penelitian menunjukkan bahwa
pengambilan keputusan dalam pelayanan kesehatan tidak cukup hanya konseptual
jika dilihat sebagai proses pertukaran informasi sebagai acuan keputusan
pasien. Informasi dinyatakan dalam banyak faktor yang berkaitan dengan
pengambilan keputusan pasien untuk mengikuti tindakan medis. Banyak aspek
perlakuan klinis yang relevan dinyatakan dalam Informed Consent,
hal ini tidak sama dengan mempengaruhi pasien untuk mengikuti atau menyetujui
perlakuan klinis. Legalitas dibutuhkan dalam Informed Consent sebagai
bagian dari prosedur pelaksanaan tindakan medis. Faktor utama yang sangat
berpengaruh dalamInformed Consent adalah kerelaan dan
berpartisipasi. Umumnya tindakan yang berkaitan dengan Informed Consent mengarah
pada pelayanan kesehatan, penelitian dan institusi yang cenderung tidak hanya
berdampak pada pasien jika mengikuti treatment. Prioritas utamanya adalah
memberikan kontribusi penting pada pasien untuk membentuk persepsi tentang
informasi yang diberikan serta mengevaluasi proses pengambilan keputusan.
Penelitian menunjukkan bahwa keikutsertaan
pasien dalam tindakan medis tidak hanya sebagai hasil dari penerimaan informasi
tentang manfaat dan resiko, serta membandingkan kondisi dan keputusan yang
rasional. Hal ini kadang cukup sulit untuk membangun interaksi antara pasien
dan dokter. Bentuk-bentuk panduan keputusan/decision idealnya
dibuat dengan informasi yang konkrit dan obyektif. Dari standar Informed
Consent yang ditampilkan ternyata mendapat reaksi yang bermacam-macam.
Dalam bentuk pertamaInformed Consent berkemungkinan tidak tercapai.
Bentuk kedua informed consent, memberikan solusi dengan penyajian
informasi yang lebih baik serta menjamin bahwa pasien membuat keputusannya
dengan sengaja dan indefendent. Bagaimanapun kesulitan yang mana memberikan
kesempatan kepada pasien untuk berperan aktif menambah informasi dan opsi-opsi
yang seimbang. Banyak program yang biasanya digunakan, dari program tersebut
mendorong pasien mempertimbangkan dalam membuat keputusan dengan menyimak
faktor-faktor kunci yang disajikan yang dapat diaksesdengan mudah oleh pasien.
2. Tujuan penulisan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui
gambaran umum tentangInformed Consent dan kaitannya dengan tindakan
yang dilakukan.
3. Metode penulisan
Metode yang kami gunakan dalam penulisan makalah ini diantaranya
melalui media literatur perpustakaan dan elektronik.
4. Sistematika penulisan
Makalah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan terdiri dari
latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika
penulisan.
BAB II : Tinjauan teoritis yang terdiri dari
pengertian, elemen-elemen Informed Consent, hal-hal
yang diinformasikan, aspek hokum Informed Consent, kendala yang
ditimbulkan dan contoh Informed Consent
BAB III : Penutup yang terdiri dari kesimpulan
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian
Dalam sejarahnya, Informed Consent berakar
pada banyak disiplin ilmu pengetahuan, termasuk dalam ilmu
kesehatan/kedokteran, ilmu hukum, ilmu perilaku sosial, dan ilmu filsafat
moral/etika. Belakangan ini, bidang ilmu yang sangat berpengaruh dalam
hal informed consent adalah ilmu hukum dan ilmu filsafat moral
atau filsafat etika. Kedua disiplin ilmu ini, keduanya dengan metoda dan
objektifnya tersendiri, mempunyai fungsi sosial dan intelektual yang berbeda.
Walaupun pendekatan kedua bidang ilmu ini
terhadap Informed Consent rumit dan kontroversial, intisari
dari pendekatan secara hukum, dan pendekatan secara etika mudah dimengerti.
Hukum memfokuskan diri terutama pada konteks klinis, tidak pada riset. Dalam
kacamata hukum, dokter mempunyai kewajiban untuk pertama memberi informasi
kepada pasiennya dan kedua untuk mendapatkan izinnya. Apabila seorang pasien
cedera akibat dokter lalai dengan tidak memberikan informasi yang lengkap
mengenai suatu pengobatan atau tindakan, maka pasien dapat menerima kompensasi
finansial dari si dokter karena telah menyebabkan cedera tersebut. Visi legal
ini lebih berfokus pada kompensasi finansial daripada pada pemberian informasi
dan izin yang diberikan pasien secara umum.
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008
dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI
tahun 2008. maka Informed Consentadalah persetujuan
tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya
setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang
akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Informed consent adalah suatu proses
komunikasi antara pasien dan dokter yang menghasilkan pemberian izin oleh
pasien untuk menjalankan suatu intervensi medik tertentu.Informed Consent adalah
persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter untuk
melakukan tindakan medis pada pasien, seperti pemriksaan fisik dan pemeriksaan
lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan,
menolong bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak
lanjut jika terjadi kesulitan, dan sebagainya. Selanjutnya kata informed
terkait dengan informasi atau penjelasan.
Informed Consent adalah suatu persetujuan mengenai akan
dilakukannya tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan
itu bisa dalam bentuk lisan maupun tertulis. Pada hakikatnya Informed
Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien tentang
kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada
kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun
sesungguhnya sudah cukup.
Penandatanganan formulir Informed
Consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah
disepakati sebelumnya. Formulir ini juga merupakan suatu tanda bukti yang akan
disimpan di dalam arsip rekam medis pasien yang bisa dijadikan sebagai alat
bukti bahwa telah terjadi kontrak terapeutik antara dokter dan pasien.
Pembuktian tentang adanya perjanjian terapeutik dapat dilakukan pasien dengan
mengajukan arsip rekam medis atau dengan persetujuan tindakan medis (Informed
Consent) yang diberikan oleh pasien. Bahkan dalam kontrak terapeutik adanya
kartu berobat atau dengan kedatangan pasien menemui dokter untuk meminta
pertolongannya, dapat dianggap telah terjadi perjanjian terapeutik.
Dapat disimpulkan bahwa Informed
Consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien (atau keluarga yang
berhak) kepada dokter untuk melakukan tindakan medis atas dirinya, setelah
kepadanya oleh dokter yang bersangkutan diberikan informasi atau penjelasan
yang lengkap tentang tindakan itu. Mendapat penjelasan lengkap itu adalah salah
satu hak pasien yang diakui oleh UU sehingga dengan kata lain Informed
Consent adalah persetujuan setelah penjelasan.
Tujuan Informed Consent:
a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter
yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya
yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu
kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa
resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko (Permenkes No.
290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3)
B. Elemen-elemen Informed Consent
Setelah hubungan dokter pasien terbentuk,
dokter memiliki kewajiban untuk memberitahukan pasien mengenai kondisinya;
diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, terapi, risiko,
alternatif, prognosis dan harapan. Dokter seharusnya tidak mengurangi materi
informasi atau memaksa pasien untuk segera memberi keputusan. Informasi yang
diberikan disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
Suatu Informed Consent harus meliputi :
1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai
tindakan, terapi dan penyakitnya
2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan
seberapa besar kemungkinan keberhasilannya
3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada
dan akibat apabila penyakit tidak diobati.
4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau
menolak terapi
Risiko yang harus disampaikan meliputi efek
samping yang mungkin terjadi dalam penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan
dan operasi yang dilakukan. Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan
tergantung pada pengetahuan medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien
juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta dalam
pengobatan pasien. Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter
akan adanya penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah
dilakukan inkonklusif.
Dalam proses komunikasi ini, dokter sebagai
orang yang memberi terapi atau melakukan tindakan mediklah yang harus
menjelaskan dan mendiskusikan bersama pasien hal-hal di bawah ini. Proses
komunikasi ini tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal-hal yang harus
dibicarakan:
1. Diagnosis pada pasien, kalau sudah diketahui.
2. Sifat dan manfaat dari pengobatan atau tindakan yang
direncanakan.
3. Risiko dan manfaat dari pengobatan atau tindakan yang
direncanakan.
4. Pilihan pengobatan atau tindakan yang lain yang tersedia (tanpa
melihat biayanya maupun apakah termasuk di dalam pembiayaan yang dicakup oleh
asuransi).
5. Risiko dan manfaat dari pilihan pengobatan atau tindakan lain
yang tersedia.
6. Risiko dan manfaat yang dihadapi apabila suatu pengobatan
atau tindakan tidak dilakukan.
Sebaliknya, pasien atau klien harus mempunyai
kesempatan untuk bertanya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai
suatu pengobatan atau tindakan. Dengan demikian dia akan dapat membuat
keputusan yang berdasarkan pemahaman yang baik mengenai suatu intervensi medik.
Keputusan yang dia ambil bisa berupa persetujuan maupun penolakan akan
intervensi tersebut. Informed Consentbaru dianggap sah kalau
diberikan oleh seorang pasien/klien yang kompeten dan diberikan secara
sukarela.
Semua informasi diatas sudah harus diterima
pasien sebelum rencana tindakan medis dilaksanakan. Pemberian
informasi ini selayaknya bersifat obyektif, tidak memihak, dan tanpa tekanan.
Setelah menerima semua informasi tersebut, pasien seharusnya diberi waktu untuk
berfikir dan mempertimbangkan keputusannya.
Kriteria pasien yang berhak :
Tidak semua pasien boleh memberikan pernyataan, baik setuju
maupun tidak setuju. Syarat seorang pasien yang boleh memberikan pernyataan,
yaitu :
1. Pasien tersebut sudah dewasa
Masih terdapat perbedaan pendapat pakar tentang batas usia
dewasa, namun secara umum bisa digunakan batas 21 tahun. Pasien yang masih
dibawah batas umur ini tapi sudah menikah termasuk kriteria pasien sudah
dewasa.
2. Pasien dalam keadaan sadar.
Hal ini mengandung pengertian bahwa pasien tidak sedang pingsan,
koma, atau terganggu kesadarannya karena pengaruh obat, tekanan kejiwaan, atau
hal lain. Berarti, pasien harus bisa diajak berkomunikasi secara wajar dan
lancar.
3. Pasien dalam keadaan sehat akal
Jadi yang paling berhak untuk menentukan dan memberikan
pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medis adalah pasien itu
sendiri, apabila dia memenuhi 3 kriteria diatas, bukan orang tuanya, anaknya,
suami/istrinya, atau orang lainnya. Namun apabila pasien tersebut tidak
memenuhi 3 kriteria tersebut diatas maka dia tidak berhak untuk menentukan dan
menyatakan persetujuannya terhadap rencana tindakan medis yang akan dilakukan
kepada dirinya. Dalam hal seperti ini, maka hak pasien akan diwakili oleh wali
keluarga atau wali hukumnya. Misalnya pasien masih anak-anak, maka yang berhak
memberikan persetujuan adalah orang tuanya, atau paman/bibinya, atau urutan
wali lainnya yang sah. Bila pasien sudah menikah, tapi dalam keadaan tidak
sadar atau kehilangan akal sehat, maka suami/istrinya merupakan yang paling
berhak untuk menyatakan persetujuan bila memang dia setuju.
4. Hak suami/istri pasien
Untuk beberapa jenis tindakan medis yang
berkaitan dengan kehidupan berpasangan sebagai suami-istri, maka pernyataan
persetujuan terhadap rencana tindakan medisnya harus melibatkan persetujuan
suami/istri pasien tersebut apabila suami/istrinya ada atau bisa dihubungi
untuk keperluan ini. Dalam hal ini, tentu saja suami/istrinya tersebut harus
juga memenuhi kriteria “dalam keadaan sadar dan sehat akal”. Beberapa
jenis tindakan medis tersebut misalnya tindakan terhadap organ reproduksi, KB,
dan tindakan medis yang bisa berpengaruh terhadap kemampuan seksual atau
reproduksi dari pasien tersebut.
5. Dalam keadaan gawat darurat
Proses pemberian informasi dan permintaan
persetujuan rencana tindakan medis ini bisa saja tidak dilaksanakan oleh dokter
apabila situasi pasien tersebut dalam kondisi gawat darurat. Dalam kondisi ini,
dokter akan mendahulukan tindakan untuk penyelamatan nyawa pasien. Prosedur
penyelamatan nyawa ini tetap harus dilakukan sesuai dengan standar pelayanan /
prosedur medis yang berlaku disertai profesionalisme yang dijunjung tinggi.
Setelah masa kritis terlewati dan pasien sudah bisa berkomunikasi, maka pasien berhak untuk mendapat informasi lengkap tentang tindakan medis yang sudah dialaminya tersebut.
Setelah masa kritis terlewati dan pasien sudah bisa berkomunikasi, maka pasien berhak untuk mendapat informasi lengkap tentang tindakan medis yang sudah dialaminya tersebut.
6. Tidak berarti kebal hukum
Pelaksanaan informed consent ini semata-mata
menyatakan bahwa pasien (dan/atau walinya yang sah) telah menyetujui rencana
tindakan medis yang akan dilakukan. Pelaksanaan tindakan medis itu sendiri tetap
harus sesuai dengan standar proferi kedokteran. Setiap kelalaian, kecelakaan,
atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan tindakan medis itu
tetap bisa menyebabkan pasien merasa tidak puas dan berpotensi untuk mengajukan
tuntutan hukum.
Informed consent memang menyatakan bahwa pasien sudah paham dan siap menerima resiko sesuai dengan yang telah diinformasikan sebelumnya. Namun tidak berarti bahwa pasien bersedia menerimaapapun resiko dan kerugian yang akan timbul, apalagi menyatakan bahwa pasien tidak akan menuntut apapun kerugian yang timbul. Informed consent tidak menjadikan dokter kebal terhadap hukum atas kejadian yang disebabkan karena kelalaiannya dalam melaksanakan tindakan medis.
Informed consent memang menyatakan bahwa pasien sudah paham dan siap menerima resiko sesuai dengan yang telah diinformasikan sebelumnya. Namun tidak berarti bahwa pasien bersedia menerimaapapun resiko dan kerugian yang akan timbul, apalagi menyatakan bahwa pasien tidak akan menuntut apapun kerugian yang timbul. Informed consent tidak menjadikan dokter kebal terhadap hukum atas kejadian yang disebabkan karena kelalaiannya dalam melaksanakan tindakan medis.
Tindakan invasif :
a. Wali
Orang yang menurut hukum menggantikan orang
lain yang belum dewasa untuk mewakili dalam melakukan perbuatan hukum, atau
orang yang menurut hukum menggantikan kedudukan orang tua.
b. Induk semang
Orang yang berkewajiban untuk mengawasi
serta ikut bertanggung jawab terhadap pribadi orang lain, misalnya : Pimpinan
asrama dari anak perantau, kepala RT dari seorang pembantu RT yang belum
dewasa.
C. Hal-hal yang diinformasikan
1. Hasil
Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil
pemeriksaan yang telah dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap
smear. Apabila infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada
di tangan pasien.
2. Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus
diungkapkan disertai upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya
hal tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat
pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat
bahwa kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang
dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat alternatif
pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya pada pasien. Jika
seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur
terapi dan terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib
memberitahukan pada pasien.
3. Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif
dalam proses diagnosis dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur,
manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut.
Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi
yaitu obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus
menjelaskan prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.
4. Rujukan/ konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila
ia menyadari bahwa kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk
melaksanakan terapi pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa
dokter harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena
keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat
menangani pasien tersebut lebih baik darinya.
5. Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis,
komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap
pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun.
Pasien juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi
dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang
dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan
bagian dari Informed Consent.
D. Aspek hukum Informed Consent
Pada dasarnya dalam praktik sehari hari,
pasien yang datang untuk berobat ke tempat praktik dianggap telah memberikan
persetujuannya untuk dilakukan tindakan tindakan rutin seperti pemeriksaan
fisik. Akan tetapi, untuk tindakan yang lebih kompleks biasanya dokter akan
memberikan penjelasan terlebih dahulu untuk mendapatkan kesediaan dari pasien,
misalnya kesediaan untuk dilakukan suntikan.Ikhwal diperlukannya izin pasien,
adalah karena tindakan medik hasilnya penuh ketidakpastian, tidak dapat
diperhitungkan secara matematik, karena dipengaruhi faktor faktor lain diluar
kekuasaan dokter, seperti virulensi penyakit, daya tahan tubuh pasien, stadium
penyakit, respon individual, faktor genetik, kualitas obat, kepatuhan pasien
dalam mengikuti prosedur dan nasihat dokter, dll.
Selain itu tindakan medik mengandung risiko,
atau bahkan tindakan medik tertentu selalu diikuti oleh akibat yang tidak
menyenangkan. Risiko baik maupun buruk yang menanggung adalah pasien. Atas
dasar itulah maka persetujuan pasien bagi setiap tindakan medik mutlak
diperlukan, kecuali pasien dalam kondisi emergensi. Mengingat pasien biasanya
datang dalam keadaan yang tidak sehat, diharapkan dokter tidak memberikan
informasi yang dapat mempengaruhi keputusan pasien, karena dalam keadaan
tersebut, pikiran pasien mudah terpengaruh. Selain itu dokter juga harus dapat
menyesuaikan diri dengan tingkat pendidikan pasien, agar pasien bisa mengerti
dan memahami isi pembicaraan. Persetujuan tersebut disebut dengan Informed
Consent.
Informed Consent hakikatnya adalah hukum perikatan,
ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab
profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek
perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan
yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjian
yaitu:
1. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari
paksaan, kekeliruan dan penipuan.
2. Para pihak cakap untuk membuat perikatan.
3. Adanya suatu sebab yang dibenarkan, dan
tidak dilarang oleh peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk
akal untuk dipenuhi.
Dari syarat pertama yaitu adanya kesepakatan
antara kedua pihak (antara petugas kesehatan dan pasien), maka berarti harus
ada informasi keluhan pasien yang cukup dari kedua belah pihak tersebut. Dari
pihak petugas harus mendapat informasi keluhan pasien sejujurnya, demikian pula
dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.
Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan
memberikan Informed Consent agar hukum perikatan ini tidak
cacat hukum, diantaranya adalah:
1. Tidak bersifat memperdaya (Fraud).
2. Tidak berupaya menekan (Force).
3. Tidak menciptakan ketakutan (Fear).
UU NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
Perlindungan Pasien
Pasal 56
1. Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh
tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan
memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
2. Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku pada:
a. Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat
menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
3. Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
290/MENKES/PER/III/2008 TENTANG PERSETUJUAN
TINDAKAN KEDOKTERANMENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: :
bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, perlu mengatur kembali Persetujuan Tindakan Medik dengan Peraturan Menteri Kesehatan;
Menimbang: :
bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, perlu mengatur kembali Persetujuan Tindakan Medik dengan Peraturan Menteri Kesehatan;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran
Negar Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3495);
2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4431).
3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan
Rahasia Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 21,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2803).
4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 39 Tambahan Lembaran Negara Nomor
3637).
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/Menkes/Per/XII/1986
tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik. Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan
Sosial Nomor 191/Menkes-Kesos/SK/II/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 157/Menkes/SK/III/1999 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit.
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1295/Menkes/Per/XII/2007
tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN.
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud
dengan :
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu
kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya
disebut tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif,
diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien.
4. Tindakan invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung
dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah
tindakan medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan
kematian atau kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter
gigi dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran
gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak
menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu
kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami
kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental
sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.
BAB II
PERSETUJUAN DAN PENJELASAN
Bagian Kesatu
Persetujuan
Pasal 2
1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan
secara tertulis maupun lisan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran
dilakukan.
Pasal 3
Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus
memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
1. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
2. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat
dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk
itu.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan
dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat
diartikan sebagai ucapan setuju.
4. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Pasal 4
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien
dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
1. Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di
dalam rekam medik.
2. Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin
kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat
Pasal 5
Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik
kembali oleh yang memberi persetujuan sebelum dimulainya tindakan.
1. Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan.
2. Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan
kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) menjadi tanggung jawab
yang membatalkan persetujuan.
Pasal 6
Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan
tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya kelalaian dalam melakukan
tindakan kedokteran yang mengakibatkan kerugian pada pasien
Bagian Kedua
Penjelasan
Pasal 7
1. Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan
langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak
diminta.
2. Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar,
penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.
3. Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 sekurang-kurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran.
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan.
c. Altematif tindakan lain, dan risikonya.
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
f. Perkiraan pembiayaan.
Pasal 8
1. Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat
meliputi:
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut.
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan,
maka sekurang-kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding.
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan
dilakukannya tindakan kedokteran.
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan
tindakan.
2. Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif,
diagnostik, terapeutik, ataupun rehabilitatif.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien
selama dan sesudah tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang
mungkin terjadi.
c. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya
dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan.
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing
alternatif tindakan.
e. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi
keadaan darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga
lainnya.
3. Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran
adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan
kedokteran yang dilakukan, kecuali:
a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
b. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang
dampaknya sangat ringan.
c. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya
(unforeseeable).
4. Penjelasan tentang prognosis meliputi:
a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam).
b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam).
c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)
Pasal 9
1. Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus diberikan
secara lengkap dengan bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang
bertujuan untuk mempermudah pemahaman.
2. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan
didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang
memberikan penjelasan dengan mencantumkan tanggal, waktu, nama, dan tanda
tangan pemberi penjelasan dan penerima penjelasan.
3. Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan
tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak
diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter gigi dapat memberikan penjelasan
tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga
kesehatan lain sebagai saksi.
Pasal 10
1. Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan oleh
dokter atau dokter gigi yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter
gigi dari tim dokter yang merawatnya.
2. Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan
untuk memberikan penjelasan secara langsung, maka pemberian penjelasan harus
didelegasikan kepada dokter atau dokter gigi lain yang kompeten.
3. Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan
sesuai dengan kewenangannya.
4. Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara
langsung kepada pasien
Pasal 11
1. Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan
kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan
penjelasan.
2. Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar daripada persetujuan
Pasal 12
1. Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi
sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
2. Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan, dokter atau dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada
pasien atau keluarga terdekat.
BAB III
YANG BERHAK MEMBERIKAN PERSETUJUAN
Pasal 13
1. Persetujuan diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga
terdekat.
2. Penilaian terhadap kompetensi pasien sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 dilakukan oleh dokter pada saat diperlukan persetujuan
BAB IV
KETENTUAN PADA SITUASI KHUSUS
Pasal 14 :
1. Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding
life support) pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga
terdekat pasien.
2. Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga
terdekat pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah keluarga
mendapat penjelasan dari tim dokter yang bersangkutan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan
secara tertulis.
Pasal 15
Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan
program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat
banyak, maka persetujuan tindakan kedokteran tidak diperlukan.
BAB V
PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN
Pasal 16
1. Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien
dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan yang
akan dilakukan.
2. Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud kedokteran
pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis.
3. Akibat penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) menjadi tanggung jawab pasien.
4. Penolakan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien.
BAB VI
TANGGUNG JAWAB
Pasal 17
1. Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan
menjadi tanggung jawab dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan
kedokteran.
2. Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan
persetujuan tindakan kedokteran.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 18
1. Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan dengan melibatkan organisasi
profesi terkait sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
2. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
Pasal 19
1. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengambil
tindakan administratif sesuai dengan kewenangannya masing-masing
2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin
Praktik
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan
Medik dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 21
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang rnengetahuinya, rnemerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penernpatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Agar setiap orang rnengetahuinya, rnemerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penernpatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pernyataan IDI tentang informed consent
1. Manusia dewasa dan sehat rohaniah berhak
sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya.
2. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis
yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien itu
sendiri.
Oleh karena itu, semua tindakan medis (diagnostik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan Informed Consent secara lisan maupun tertulis.
Oleh karena itu, semua tindakan medis (diagnostik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan Informed Consent secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mengandung risiko
cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh
pasien, setelah sebelumnya pasien itu memperoleh informasi yang adekuat tentang
perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko yang berkaitan dengannya
(Informed Consent).
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir
3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus
diberikan kepada pasien, baik diminta oleh pasien maupun tidak. Menahan
informasi tidak boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut
dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat
memberikan informasi itu kepada keluarga terdekat. Dalam memberikan
informasi kepada keluarga terdekat pasien, kehadiran seorang perawat/paramedik
lain sebagai saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian
tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun
paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula
secara tertulis (berkaitan dengan informasi "Informed Consent").Informasi
harus diberikan secara jujur dan benar, terkecuali bila dokter menilai bahwa
hal ini dapat merugikan kepentingan pasien.
Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi yang benar itu kepada keluarga terdekat pasien.
Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi yang benar itu kepada keluarga terdekat pasien.
7. Dalam hal tindakan bedah (operasi) dan
tindakan invasif lainnya, informasi harus diberikan oleh dokter yang
bersangkutan sendiri.
Untuk tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan invasif, informasi dapat diberikan oleh perawat atau dokter lain, sepengetahuan atau dengan petunjuk dokter yang merawat.
Untuk tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan invasif, informasi dapat diberikan oleh perawat atau dokter lain, sepengetahuan atau dengan petunjuk dokter yang merawat.
8. Perluasan operasi yang dapat diduga sebelum
tindakan dilakukan, tidak boleh dilakukan tanpa informasi sebelumnya kepada
keluarga yang terdekat atau yang menunggu. Perluasan yang tidak dapat diduga
sebelum tindakan dilakukan, boleh dilaksanakan tanpa informasi sebelumnya bila
perluasan operasi tersebut perlu untuk menyelamatkan nyawa pasien pada waktu
itu.
9. Informed Consent diberikan oleh pasien dewasa yang
berada dalam keadaan sehat rohaniah.
10. Untuk
orang dewasa yang berada dibawah pengampuan, Informed Consent diberikan
oleh orangtua/kurator/wali. Untuk yang dibawah umur dan tidak mempunyai
orangtua/wali. Informed Consent diberikan oleh keluarga
terdekat/induk semang ( guardian ).
11. Dalam
hal pasien tidak sadar/pingsan, serta tidak didampingi oleh yang tersebut dalam
butir 10, dan yang dinyatakan secara medis berada dalam keadaan gawat dan/atau
darurat, yang memerlukan tindakan medis segera untuk kepentingan pasien, tidak
diperlukan Informed Consent dari siapapun dan ini
menjadi tanggung jawab dokter.
12. Dalam
pemberian persetujuan berdasarkan informasi untuk tindakan medis di RS/Klinik,
maka RS/Klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab.
E. Kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan Informed
Consent untuk menghindari tuntutan malpraktek
Beberapa kendala timbul dalam pelaksanaan Informed Consent yang
dilakukan untuk menghindari tuntutan malpraktek. Kendala-kendala tersebut
berasal dari tenaga medis, tenaga kesehatan, rumah sakit, pasien dan keluarga
pasien.
1. Tenaga Medis
a. Tenaga medis (dokter) sibuk praktek dibeberapa tempat/RS dan
selain itu dokter memiliki pasien yang banyak.
b. Kebiasaan dokter untuk mendelegasikan tugasnya kepada Tenaga
Kesehatan, padahal tidak semua Tenaga Kesehatan kompeten dalam bidang tersebut.
c. Dokter boleh mendelegasikan bila kondisi life
saving (emergency), setelah dokter datang harus
menandatanganinya.
2. Tenaga Kesehatan (Perawat/Bidan)
a. Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan delegasi meminta Informed Concent ke
pasien/keluarga tanpa ada beban karena merasa hal tersebut sudah tugas rutin.
b. Beberapa tenaga kesehatan belum sepenuhnya memahami dampak yang
timbul bila ada kesalahan.
3. Pasien dan keluarga
Dari pasien dan keluarga informed
concent merupakan hal yang biasa layaknya menulis identas yang perlu
ditanda tangani seperti saat masuk RS, dan tidak tahu dampak bila terjadi
masalah.
4. Rumah sakit
Rumah sakit belum tegas dalam pelaksanaan
SOP informed concent terhadap dokter dan Tenaga Kesehatan,
perlu diberi sangsi bila terjadi pelanggaran. Dengan adanya SOP informed
consent yang jelas maka jelas pula perlindungan bagi dokter dan tenaga
kesehatan dalam menjalankan profesinya, setidak-tidaknya perlindungan terhadap
kejadian yang tak terduga.
6. Upaya mengatasi kendala-kendala yang timbul
dalam pelaksanaan Informed Consent.
Melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan
tindakan medik merupakan salah satu keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya
tuntutan malpraktek pidana karena kecerobohan. Oleh karena itu masalah
persetujuan tindakan medik perlu untuk menghindari kesalahpahaman antara kedua
belah pihak dokter maupun pasien.
Sehubungan dengan cara pernyataan kehendak
menurut hukum, Mertokusumo (1987) menyebutkan bahwa informed consent dari
pasien dapat dilakukan dengan cara antara lain :
1. Dengan bahasa yang sempurna dan tertulis,
2. Dengan bahasa yang sempurna secara lisan
3. Dengan bahasa tidak sempurna asal dapat
diterima oleh pihak lawan,
4. Dengan bahasa isyarat asal dapat
diterima oleh pihak lawan,
5. Dengan diam atau membisu tetapi asal dipahami
atau diterima oleh pihak lawan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
bahwa Informed Consent merupakan syarat yang tidak boleh
diabaikan. Yang lebih penting lagi adalah menentukan substansi minimal Informed Consenttersebut
sehingga ada pegangan bagi tenaga kesehatan yang akan melaksanakannya. Selain
itu melakukanInformed Consent sebagaimana mestinya tanpa
mengabaikannya.
Upaya untuk mengatasi kendala dalam
pelaksanaan Informed Consent (yang seyogyanya hal
tersebut dapat digunakan untuk menghindari tuntutan malpraktek) yang timbul
oleh pihak rumah sakit, yaitu dengan cara pihak rumah sakit segera membuat SOP
informed consent yang jelas dan terarah sehingga dapat dipahami oleh
pasien dan dokter maupun tenaga kesehatan.
F. Contoh Informed Consent
SURAT PERSETUJUAN/PENOLAKAN MEDIS KHUSUS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
:
(L/P)
Umur/Tgl
Lahir :
Alamat
:
Telp
:
Menyatakan dengan sesungguhnya dari saya sendiri/*sebagai orang
tua/*suami/*istri/*anak/*wali dari :
Nama
:
(L/P)
Umur/Tgl
Lahir :
Dengan ini menyatakan SETUJU/MENOLAK untuk dilakukan Tindakan
Medis berupa…………………………………………………………………………….
Dari penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal
yang berhubungan dengan penyakit tersebut, serta tindakan medis yang akan
dilakukan dan kemungkinana pasca tindakan yang dapat terjadi sesuai penjelasan yang
diberikan.
Bandung,……………20……
Dokter/Pelaksana,
Yang membuat pernyataan,
Ttd
ttd
(……………………)
(…………………………..)
*Coret yang tidak perlu
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Informed consent adalah suatu proses
komunikasi antara pasien dan dokter yang menghasilkan pemberian izin oleh
pasien untuk menjalankan suatu intervensi medik tertentu. Informed
Consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang
berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti
pemriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi
obat, melakukan suntikan, menolong bersalin, melakukan pembiusan, melakukan
pembedahan, melakukan tindak lanjut jika terjadi kesulitan, dan sebagainya.
Selanjutnya kata informed terkait dengan informasi atau penjelasan.
Informed Consent adalah suatu persetujuan mengenai akan
dilakukannya tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan
itu bisa dalam bentuk lisan maupun tertulis. Pada hakikatnya Informed
Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien
tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien
(ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya
sudah cukup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar